Translate

Jumat, 18 November 2011

Perjuangan Cinta Sejati (Ali Bin abi Thalib)

Bismillah....
Kisah pertama ini diambil dari buku Jalan Cinta Para Pejuang, Salim A.Fillah. Chapter aslinya berjudul “Mencintai sejantan ‘Ali” (Sedikit Diedit Dari Sumbernya)
Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah.
Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya.
Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya.
Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta.

Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta.
Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.
Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn
’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya!
Maka gadis cilik itu bangkit.
Gagah ia berjalan menuju Ka’bah.
Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam.
Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali.
Mengagumkan!
‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta.
Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan.
Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi.
Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah.
Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.
Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr.
Kedudukan di sisi Nabi?
Abu Bakr lebih utama,mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi.
Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya..
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah.
Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab..
Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.
Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud..
Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali?
Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insyaallah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
"Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.
”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.
”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”
Cinta tak pernah meminta untuk menanti.Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan.Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri.
Ah, ujian itu rupanya belum berakhir.
Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa,seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka,seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut.
’Umar ibn Al Khaththab.
Ya, Al Faruq,sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah.
’Umar memang masuk Islam belakangan,sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr.
Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya?
Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman?
Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin?
Dan lebih dari itu,’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata,”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.
Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya.
’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam.
Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam.
Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir.
Menanti dan bersembunyi.
’Umar telah berangkat sebelumnya.
Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah.
”Wahai Quraisy”, katanya.
”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah.
Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau
ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!”
’Umar adalah lelaki pemberani.
’Ali, sekali lagi sadar.
Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah.
Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak.
’Umar jauh lebih layak.
Dan ’Ali ridha.
Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan.
Itulah keberanian.
Atau mempersilakan.
Yang ini pengorbanan.
Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak.
Lamaran ’Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi?
Yang seperti ’Utsman sang miliarder kah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah?
Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah?
Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka.
Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka?
Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu?
Atau Sa’d ibn ’Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan.
”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi..”
”Aku?”, tanyanya tak yakin.
”Ya. Engkau wahai saudaraku!”
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya.
Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya.
Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap?
Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap?
Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.
teladan wanita mana yang lebih baik
daripada putrid Nabi saw yaitu Fatima al-Zahra ? Ketika dia melihat
ayahnya sering mengatakan,” Oh, umatku..,” dia ingin menyumbangkan
sesuatu bagi umat ini. Ketika Tuhan memerintahkan Nabi saw untuk
mencarikan suami bagi anaknya, Nabi saw memanggil seluruh sahabatnya
tanpa diskriminasi dan mengatakan, ”Tuhan perintahkan aku untuk
menyampaikan bahwa siapapun yang mampu menyelesaikan bacaan Al-Qur’an
malam ini boleh menikahi putriku, Fatima, jika dia menerimanya.”Malam
itu, semua sahabat berusaha menyelesaikan seluruh bacaan Qur’an,
kecuali Ali bin Abi Talib yang pulang kerumah untuk tidur.
Ketika
Bilal mengumandangkan adzan subuh, semua orang berkumpul di
masjidtermasuk Nabi saw. Ketika Nabi menanyakan siapa yang sudah
menyelesaikannya, tidak seorangpun menjawabnya, karena amat susah
menamatkan 30 juz dalam waktu 7-8 jam saja. Namun Ali bin Abi Talib
berkata,” YaRasulullah saw, aku telah menamatkan seluruh Al-Quran
semalam.” Sahabat-sahabat yang lain melihat ke arah Ali ra dan
berkata,” Bagaimana kamu menyelesaikannya ? kamu kan tidur semalaman.”
Dijawab Ali,” Tidak, aku memang menyelesaikannya.” Kata Nabi saw,”
Siapa saksimu, Ali?“ . Jawab Ali, “ Allah adalah saksiku dan engkau, ya
Nabi saw adalah juga saksiku. Aku membaca “Laa ilaha ill Allah,
Muhammad Rasulullah 3x –Astaghfirullah 70x – Surat Al Fatiha 1x – Surat
Al Ikhlas 3x – Surat Al Falaq 1x – Surat An Naas 1x -Laa ilaha ill
Allah 10 x – Shalawat Nabi, Allahumma solli alaa MUhammadin wa alaa ali
muhamaddin wa salim 10 x.”
Nabipun berkata, “Sebagaimana Allah memberi kesaksian, aku juga memberi kesaksian bahwa Ali telah menyelesaikan seluruh bacaan Qur’an. Jika kalian membaca seperti apa
yang dibaca Ali berarti sama dengan Khatam Al Quran.” Lalu Nabi
bertanya pada putrinya, ” Ya Fatima, apakah engkau menerima Ali sebagai
suamimu? “ Fatima menjawab,”Dengan satu syarat.” Semua sahabat mulai
memandang pada Ali, Fatima dankemudian kepada Nabi. Ketika Nabi saw
berpikir mengapa Fatima mengajukan syarat itu, malaikat Jibril turun
dan berkata pada beliau, ” Ya Nabi, jangan tergesa-gesa mengambil
keputusan, Allah Yang mengatakan padamu untuk menanyakan syarat apa
yang ingin dia ajukan.” “Apa syaratmu, Fatima ? “ tanya Nabi.
Fatima pun menjawab, “ Syarat itu bukan karena Ali, tapi dari diriku sendiri.
Jika dipenuhi aku menerimanya, jika tidak aku menolak untuk menikah
dengan Ali.” Sekali lagi Jibril mengingatkan Nabi akan pesan Tuhan untuk
menanyakan apa syarat yang diinginkannya. Kata Jibril, “ Sekarang
dengarkan apa yang Allah letakkan pada hati Fatima, sebagai manfaat dan
derajat para wanita dalam spiritualitas. “ Sekali lagi Nabi bertanya “
Apa syaratmu, Fatima ?” Jawab Fatima,” Aku selalu mendengarmu berdoa
bagi umatmu siang dan malam. Engkau mengatakan Ya Allah, izinkan aku
memimpin umatku untuk-Mu! Ampuni mereka ! Sucikan mereka! Angkatlah
semua dosa-dosa, kesulitan dan beban-beban mereka!”.
“Aku mendengarmu ya Rasulullah, dan melihat bagaimana engkau menderita demi
umatmu. Dari apa yang engkau tuturkan, aku tahu bahwa ketika wafat,
dalam kubur, dan kiamat nanti engkau akan selalu menyebut,
Umatku..Umatku ! “ pada Allah. sebagaimana cintamu pada umatmu seperti
itu juga yang ada dalam hatiku. Aku ingin seluruh umatmu sebagai mas
kawinku. Jika engkau menerimanya, aku bersedia menikah dengan Ali. Yang
diminta oleh Fatima ra adalah seluruh umat Nabi, semua tanpa
terkecuali. Apa yang kemudian dikatakan Nabi saw? Karena mas kawin
seperti yang diminta Fatima bukanlah terletak ditangan beliau.
Nabi kemudian menunggu kedatangan Malaikat Jibril yang lama tidak juga
menampakkan dirinya. Ketika akhirnya Jibril as datang, dia mengatakan :
” Allah menyampaikan salam kepadamu dan menerima permintaan Fatima.
Allah swt menganugerahan apa yang dimintanya sebagai mas kawin untuk
menikah dengan Ali.” Segera Nabi berdiri dan sholat 2 rakaat sebagai
rasa syukur pada Allah swt. Fatima mementingkan pengorbanannya bagi
umat Nabi saw. Tidak seorang umatpun yang akan berada diluar mas kawin
Fatima, karena jika Allah menarik satu umatdari mas kawin itu, maka
pernikahannya dengan Ali dianggap tidak syah. Fatima akan membawa
seluruh umat Nabi dibawah sayapnya untuk dibawa menuju surga. Ini hanya
dari keagungan seorang muslimah saja sehingga mampu membawa semua umat
manusia menuju surga. Bagaimana dengan muslimah-muslimah setara lain
dalam Islam?
Dan ’Ali pun menikahi Fathimah.
Dengan menggadaikan baju besinya.
Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar  cicilannya.
Itu hutang.
Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah.
Dengan keberanian untuk menikah.Sekarang.
Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
’Ali adalah gentleman sejati.
Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel,“Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!”
Inilah jalan cinta para pejuang.
Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggungjawab.
Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Seperti ’Ali.
Ia mempersilakan.
Atau mengambil kesempatan.
Yang pertama adalah pengorbanan.
Yang kedua adalah keberanian.
Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi,dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah)
Fathimah berkata kepada ‘Ali,“Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda”
‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau menikah denganku? dan Siapakah pemuda itu” Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”
Kisah ini disampaikan disini, bukan untuk membuat kita menjadi mendayu-dayu atau romantis-romantis-an
Kisah ini disampaikan agar kita bisa belajar lebih jauh dari ‘Ali dan Fathimah bahwa ternyata keduanya telah memiliki perasaan yang sama semenjak mereka belum menikah tetapi dengan rapat keduanya menjaga perasaan itu
Perasaan yang insyaAllah akan indah ketika waktunya tiba

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar